Hasan bin Ali meninggal dunia dalam situasi perseteruan kaum Muslimin dengan sesamanya karena badai politik yang berkepanjangan.
Para sejarawan menilai sikap Hasan yang lebih lunak daripada Husein adalah pengejawantahan dari sabda Rasulullah yang berdoa kepada Allah agar cucunya tersebut menjadi orang yang mendamaikan dua golongan kaum Muslimin.
Hasan dibaiat menjadi khalifah setelah ayahnya, Ali bin Abi Thalib, meninggal dunia karena dibunuh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Si Khawarij itu menebaskan pedangnya saat khalifah keempat tersebut tengah berwudu hendak menunaikan salat Subuh.
Diangkatnya Hasan sebagai khalifah tentu membuat Muawiyah berang, sebab keturunan Umayyah tersebut telah melakukan pemberontakan sejak khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia menduduki puncak pimpinan kaum Muslimin.
Hasan berkata :
“Janganlah engkau terus-menerus terbenam di dalam kebatilan dan kesesatan. Bergabunglah dengan orang-orang yang telah menyatakan baiat kepadaku. Sebenarnya engkau telah mengetahui, bahwa aku lebih berhak menempati kedudukan sebagai pemimpin umat Islam. Lindungilah dirimu dari siksa Allah dan tinggalkanlah perbuatan durhaka. Hentikanlah pertumpahan darah, sudah cukup banyak darah mengalir yang harus kau pikul tanggungjawabnya di akhirat kelak. Nyatakanlah kesetiaanmu kepadaku dan janganlah engkau menuntut sesuatu yang bukan hakmu, demi kerukunan dan persatuan umat Islam,” tulis Hasan seperti dikutip Al-Hamid Al-Husaini dalam Al-Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya (1979).
Surat tersebut jelas menggambarkan Hasan sebagai orang yang lebih suka menghindari pertikaian dan pertumpahan darah. Ia juga menekankan pentingnya kerukunan dan persatuan umat Islam.
Namun, Muawiyah yang sudah makan asam garam dalam dunia politik, serta telah mengobarkan peperangan demi posisi khalifah sejak zaman Ali, jelas menolak mentah-mentah permintaan Hasan.
“Jika aku yakin bahwa engkau lebih tepat menjadi pemimpin daripada diriku, dan jika aku yakin bahwa engkau sanggup menjalankan politik untuk memperkuat kaum Muslimin dan melemahkan kekuatan musuh, tentu kedudukan khalifah akan kuserahkan kepadamu,” balasnya.
Jawaban tersebut jelas bukan yang diharapkan Hasan. Apalagi tak lama setelah itu, Muawiyah menyiapkan ribuan pasukan perang yang hendak ia bawa ke Kufah untuk menggempur kekuatan Hasan sebagai khalifah.
Menegakkan Kehormatan sebelum PerdamaianSebagai seorang pemimpin, Hasan lebih menyukai perdamaian. Tapi bukan berarti ia berdiam diri saat mendapat ancaman untuk mengudetanya. Ia kemudian mengumpulkan penduduk Kufah dan mengabarkan bahwa kotanya akan diserang pasukan Muawiyah yang bergerak dari Syam.
Hasan memerintahkan kepada setiap lelaki Kufah yang mampu berperang untuk bersiap menghadapi ancaman tersebut. Sebuah dusun bernama Nukhailah dipilih Hasan sebagai markas pusat militer yang hendak melawan pasukan penyerbu dari Syam.
Adi bin Hatim adalah pemimpin suku at-Tha’iy yang sejak dulu tinggal di Kufah dan terkenal sebagai orator ulung. Ia masuk Islam pada tahun 9 Hijriyah dan menjadi salah satu sahabat Rasulullah.
“Ucapan anda [Hasan] sudah kudengar dan seruan anda sudah kupahami. Dengan ini aku menyatakan ketaatan dan kesetiaan kepadamu, demi Allah. Mulai detik ini juga aku siap menjalankan perintah anda, dan sekarang juga aku hendak berangkat ke Nukhailah tempat pemusatan pasukan anda,” sambungnya.
Setelah itu dengan menunggang unta ia berangkat ke Nukhailah sendirian. Di pemusatan pasukan tersebut ia mendirikan tenda sendiri sambil menunggu para pengikutnya dari kabilah at-Tha’iy.
Sebagian penduduk Kufah, terutama kaum laki-laki yang fisiknya kuat untuk berperang, akhirnya menyambut seruan Hasan. Sementara sebagian yang lain kembali ke rumah masing-masing.
Hasan mengangkat Ubaidillah bin Abbas sebagai pemimpin pasukan. Kepadanya ia berkata:
“Hai, Ubaidillah, engkau kuberi kepercayaan memimpin 12.000 pasukan Muslimin Arab yang terkenal gagah berani, berpengalaman dan gigih menghadapi pertempuran. Ketahuilah, bahwa seorang dari mereka lebih berharga daripada sekompi pasukan biasa. Eratkanlah hubunganmu dengan mereka dan tunjukkanlah kecerdasan wajahmu pada mereka. Mereka itu adalah sisa kekuatan angkatan perang ayahku yang dapat dipercaya,” ucap Hasan.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Karena tergiur bujuk rayu Muawiyah yang menjanjikan akan memberi uang jika ia bergabung dengan anak Abu Suyan itu, Ubaidillah bin Abbas berbalik mengkhianati khalifah. Itulah yang membuat semangat ribuan pasukan pendukung Hasan runtuh.
“Berita yang menyedihkan itu hampir memadamkan seluruh semangat yang dibawanya dari Kufah. Ia teringat kepada nasib ayahandanya yang selama beberapa tahun akhir hayatnya mengalami berbagai macam pengkhianatan, dan sekarang ia harus menghadapi saudaranya sendiri yang menggunting dari dalam lipatan,” tulis Al-Hamid Al-Husaini, menggambarkan suasana hati Hasan setelah mengetahui pengkhianatan Ubaidillah bin Abbas.
Sementara orang-orang Muawiyah terus bergerak mengembuskan kabar-kabar bohong tentang para pemimpin pasukan lain yang diberitakan tewas. Hal ini membuat pasukan pendukung khalifah kian putus asa. Bahkan mereka akhirnya berbalik menyerang Hasan. Di titik inilah Hasan berpikir bahwa perang melawan Muawiyah tidak akan membawa manfaat jika mental pasukannya telah hancur dan sisa pendukungnya hanya akan menjadi bulan-bulanan musuh.
Ia akhirnya memilih berdamai dengan Muawiyah dengan sejumlah kesepakatan yang salah satu isinya adalah menyerahkan kekhalifahan kepada putra Abu Sufyan tersebut. Keputusannya ini sempat membuat kecewa dan marah para pencinta keluarga Rasulullah (ahlul bait), salah satunya adalah Hujur bin Adi yang amat setia kepada ahlul bait. Ia marah sehingga berani mengecam Hasan. Menanggapi reaksi seperti itu, Hasan dengan tenang menjawab:
“Hai Hujur, ketahuilah bahwa tidak semua orang menghendaki apa yang engkau inginkan itu. Demikian pula tidak semua orang berpikir seperti engkau. Sesungguhnya dengan menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah itu aku tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk menyelamatkan kalian dari kehancuran dan kebinasaan,” jawab Hasan.
Setelah menyelesaikan segala urusan di Kufah, Hasan kemudian pergi ke Madinah. Sebelum berangkat, ia menyampaikan beberapa hal kepada penduduk Kufah yang masih mendukungnya.
Hasan mengatakan bahwa Muawiyah telah merebut kekhalifahan yang menjadi haknya. Namun, ia lebih mengutamakan perdamaian agar dua kubu kaum Muslimin yang berseteru tidak lagi menumpahkan darah seperti masa-masa ke belakang saat sejumlah perang melumatkan jiwa-jiwa yang sejatinya bersaudara.
Wallahualam..
No comments:
Post a Comment