Kitab Al-Tuhfah al-Mursalah Ila Ruh al-Naby dikarang oleh Muhammad Ibnu Syeikh Fadhlullah Al-Burhanfuri Al-Hindi. Beliau adalah seorang sufi dari Gujerat (wafat 1620M). Ajaran Martabat 7 nya berdasarkan atas faham dari Ibn Arabi (wafat 1240M). Sheikh Muhammad Fadhlullah merupakan Bapa Martabat 7 di nusantara. Ajaran Martabat 7 yang muncul dari Gujerat ternyata segera mempengaruhi perkembangan pemikiran mistik Islam di Acheh. Dalam abad 17 ada empat orang tokoh pemikir sufi di Acheh mengembangkan ajaran Martabat 7 dari faham Muhammad Ibn Fadhlullah iaitu Hamzah Fansuri, Shamsuddin Pasai (wafat 1630M), Abdul Rauf dari Singkel (1617-1690M) dan Nuruddin Ar-Raniri.
ISTILAH MARTABAT TUJUH
Istilah ajaran martabat tujuh, tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah, beliau tidak mengajarkan secara khusus. Ajaran martabat tujuh di dalam tasawuf merupakan perkembangan dari ilmu tauhid yang diajarkan oleh Rasulullah.
Kedudukan ilmu ini sama halnya dengan mempelajari ilmu fiqh, ushul fiqh, filsafat, ilmu dirayah hadist, riwayah hadist, ilmu Alqur'an dan ilmu tafsir (ilmu-ilmu ini tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah secara khusus), akan tetapi ilmu-ilmu ini merupakan pembahasan yang mengacu kepada dasar yang telah diajarkan oleh Rasulullah.
Ada beberapa hal yang menyebabkan ilmu-ilmu itu muncul.Hadist Rasulullah, yang merupakan qauli (ucapan), fi'li (perbuatan) dan taqriri (ketetapan), ditulis oleh para periwayat hadist secara sederhana, sehingga tidak semua orang mampu mengerti kedalamannya. Dengan bahasa yang digunakan oleh Rasulullah banyak diantara sahabat yang bukan orang asli Arab setempat tidak mengerti maksudnya.
Hal ini disebabkan gaya bahasa yang disampaikan terlalu tinggi balaghahnya (biasanya sering menggunakan bahasa perumpamaan), yang terasa sulit bagi kita untuk mengerti, akan tetapi pada saat itu para sahabat boleh langsung bertanya kepada Rasulullah apabila ada kalimat yang tidak boleh difahami.
1. Martabat Ahadiyat
Iaitu martabat la Ta'yun dan ithlaq. Ialah tahap yang belum mengenal individuasi, inilah martabat yang tersembunyi (kosong), kerana belum ada idea-idea, namanya Dzat Mutlak. Hakikat ketuhanan.tak seorangpun dapat meraih-Nya, bahkan nabi-nabi dan wali-walipun tidak. Para malaikat yang berdiri dekat Allah tidak dapat meraih hakikat Yang Maha Luhur, tak seorangpun mengetahui atau merasakan hakikat-Nya.
Sifat-sifat dan nama-nama belum ada, sebuah manifestasi yang jelaspun belum ada. Hanya Dialah yang ada dan nama-Nya ialah " wujud makal" - hakikat segala hakikat. AdaNya ialah kesepian atau kekosongan ( kosong tapi ADA). Siapakah gerangan yang tahu akan hal keadaan ini? Diantara semua martabat, tak ada satupun yang melebihi martabat ini yang bernama Ahadiyah. Semua martabat lainnya berada dibawahnya.
2. Martabat ta'yun awal ( awal kenyataan)
Pada tahap "Wahdah" ini mulailah individuasi. Inilah kenyataan Muhammad yang tersembunyi di dalam rahsia Tuhan, didalam cara-cara berada dzatNya. Semua kenyataan belum terpisah antara yang satu dengan yang lainnya, karena masih terikat satu sama lain dalam cara-cara berada itu. Antara idea yang satu belum ada perbedaan dengan idea yang lain, karena masih tersembunyi di dalam "Wahdat". Mereka masih terkumpul di dalam (kenyataan) Muhammad yang merupakan awal pemancaran cara-cara berada hakikat sejati.
Yang dinamakan "Wahdah" ialah hakikat Muhammad, semua hakikat masih berkumpul dalam martabat wahdah dan belum terpisah-pisah. Martabat wahdah ini dapat di ibaratkan dengan sebutir biji; batang, cabang-cabang dan daun-daunnya masih tersembunyi di dalam biji itu dan belum terpisah-pisah.
Batang, cabang-cabang dan daun-daun melambangkan engkau, aku, mereka, sedangkan bijinya tunggal (wahdat)Masih ada perumpamaan lain, yaitu tinta dalam wadahmya. Semua huruf terkumpul di dalam tinta, huruf yang satu belum dibedakan dari huruf lain. demikian juga dalam wahdah semua huruf, tuhan dan kita, sebelum terpisahkan Dari tinta inilah segala sesuatu itu terjadi, gambar rumah, gambar gunung, gambar manusia, batu, angin dan bentuk-bentuk lainnya. Dan Tinta itu bukanlah yang menulis, akan tetapi Dialah Yang menggerakkan, Yang hidup, Kuasa, Yang Gagah, dengan demikian muncullah sifat-sifat "siapa" yang menggoreskan tinta itu.
Islam menyempurnakannya dengan langsung kepada Dzatullah, tidak berhenti kepada sifat-Nya ,yaitu dengan menafikan (mengabaikan) segala sesuatu kecuali Allah. Jelas dengan tegas bahwa Allah mengarahkan kita untuk menyembah DZAT-NYA bukan Nama-Nya bukan Sifat-Nya. Islam tidak mengenal perantara, seperti tercantum dalam :
Surat Al; An'am 79 : "Sesungguhnya aku hadapkan diriku kepada wajah Dzat Yang Menciptakan langit dan bumi dengan lurus, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (aku tidak melalui perantara siapapun)".
3. Martabat ta'yun kedua, (wahidiyat)
Iaitu kesatuan yang mengandung kejamakan, tiap-tiap bagian telah jelas batas-batasnya. Sebagai hakikat manusia. Ibarat ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu secara terperinci, sebahagian terpisah dengan lain. Ketiga martabat tersebut bersifat bathin dan ilahi, terjadi semenjak dari qadim. Urutan kejadian dari ketiganya bersifat akal, bukan perbedaan zaman. Dari ketiga martabat bathin muncullah empat (4) martabat lahir.
4. Martabat alam arwah
Merupakan aspek lahir yang masih dalam bentuk mujarrad dan murni.
5. Martabat alam mitsal
Ibarat sesuatu yang telah tersusun dari bagian-bagian, tetapi masih bersifat halus, tidak dapat dipisah-pisahkan.
6. Martabat alam ajsam (tubuh)
Yakni ibarat sesuatu dalam keadaan tersusun secara material telah menerima pemisahan dan dapat dibahagi-bahagi. Iaitu telah terukur tebal tipisnya.
7. Martabat Insan
Mencakup segala martabat diatasnya, sehingga dalam manusia terkumpul tiga martabat yang sifat bathin dan tiga martabat lahir.
i. 3 martabat sifat batin
ii. 3 martabat sifat lahir
Kalau kita perhatikan ajaran martabat (7) tujuh, pada dasarnya adalah mengungkapkan secara berurutan asal kejadian manusia mahupun alam semesta. Didalam pengurutannya Syekh Muhammad Ibnu Fadhilah menempatkan Dzat sebagai hakikat dari segala sesuatu.
Kerana itu Dzat disebut sebagai la ta'yun tidak bisa dikenal hakikatnya. Keadaan-Nya tidak kenal penyebutan karena segala persepsi tidak bisa menggambarkan keadaan-Nya. Keadaan yang masih belum ada apa-apa. Ini digambarkan oleh Al Qur'an sebagai orang yang pengsan (suatu keadaan yang di alami oleh Nabi Musa as.)
Kesimpulan:
Di dalam ajaran tasawuf para sufi tidak wajib melalui martabat tujuh. Tidak wajib. Akan tetapi disarankan memiliki wawasan ketuhanan yang baik agar kita tidak mudah taqlid(kagum) kepada orang yang menyelewengkan ajaran ini. Ajaran Martabat tujuh ini baik untuk pegangan atau referensi di dalam perjalanan menuju Tuhan. disamping ilmu-ilmu yang lainnya sebagai pendukung.
Firman Allah :
Hai Manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu , maka pasti kamu akan menemui-Nya (QS. Al Insiqaaq:6)
Semoga Allah menerima amalan kita.
No comments:
Post a Comment