Perjalanan Menuju Allah swt

Tujuan Allah menciptakan Jin dan Manusia kecuali semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Beribadah kepada Allah ialah mengabdikan diri kepadaNya iaitu ditafsirkan iaitu mengenal Allah. Orang yang mengenal Allah ialah senantiasa memperbaiki akhlaknya dan memperbaiki semua amalannya.

Tujuan mengenal Allah itu ialah untuk Takwa kepadaNya (Muttaqin) kerana Takwa itu menjadikan syarat untuk mendapat Syurga di dunia dan syurga di Akhirat. Proses untuk menuju Allah ada 4 perkara utama iaitu :

1. Mengenal diri
2. Beribadah
3. Menuntut ilmu
4. Berguru

1. Mengenal Diri

Setiap orang hendaklah mengenal akan dirinya yang sebenar-benarnya, yaitu yang berunsur rohaniah, agar dia tidak mensia-siakan hidupnya di dunia fana ini. Hidup kita bukan di dunia ini saja. Hidup kita berlanjutan kekal abadi tiada hujungnya.

Nilai buruk atau baik bukan dilihat dari segi kekayaan harta, pangkat atau jabatan yang diperoleh di dunia ini. Melainkan nilai baik dan buruk seseorang bergantung kepada iman dan amal soleh seseorang itu. Dengan kenalnya kita kepada diri yang sebenar itu, maka kita tidak akan putus asa, tidak takut, tidak bimbang dalam mengharungi bahtera hidup kita ini.

Ini karena kita sedar dan tahu diri kita adalah diciptakan oleh Allah Yang Maha Pencipta. Sebenarnya Allah mengasihi diri kita lebih dari ibu mengasihi anak kesayangannya. Ia Maha Kasih Sayang terhadap hamba-hambanya.

Dengan mengenal diri kita, maka tidaklah kita takabur, sombong, bongkak, dengki, iri hati, khianat karena kita tahu siapa diri kita sebenarnya. Jika dinisbahkan dengan Allah swt, kita tiada apa-apa, hanya ayat-ayatNya saja. Jika dinisbahkan dengan makhlukNya, diri kita adalah penguasa dan pengurus alam ini dan Allah menjadikan alam serta makhluk untuk kita, dan menjadikan kita untuk Dia.

Empat(4) perkara mengenal diri ialah Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Al-Quran turut menceritakan diri insan yang pernah menyaksikan peristiwa besar di alam roh, iaitu perjanjian azali.

Firman Allah SWT: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan zuriat anak Adam daripada (tulang) belakang mereka dan Dia menjadikan mereka saksi terhadap diri mereka sendiri. Bukankah Aku Tuhan kamu? Mereka menjawab: Benar, kami menjadi saksi. Yang demikian supaya kamu tidak berkata pada hari Kiamat kelak: Sesungguhnya kami orang yang lalai mengenai (hakikat tauhid) ini.” (Al-A’raaf: 172)

Peristiwa itu menunjukkan di alam roh lagi insan sudah diberikan ilmu perihal diri sendiri dan Tuhannya. Kita mesti memahami pengakuan manusia ialah hamba milik Allah SWT itu, iaitu kewajipan hamba untuk menghambakan diri kepada tuan dan pemiliknya. Menyerah diri dan menghambakan diri kepada Allah SWT itu bermaksud hidup beragama. Manusia bersifat pelupa dan cenderung untuk melupakan perjanjian itu sebagai punca menjadi zalim.

2. Beribadah

Seseorang hamba memiliki tiga maqam atau tingkatan dalam ibadahnya.

Pertama, seorang hamba yang melakukan ibadah dengan tata cara yang telah memenuhi tuntutan syariat. Yakni ibadahnya telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun.

Kedua, seorang hamba melakukan ibadah dengan memenuhi tuntutan syariat dan ia telah tenggelam dalam lautan maqam mukasyafah. Sehingga seolah-olah ia melihat Allah dalam ibadahnya. Ini adalah tingkatan atau maqam Rasulullah SAW. Sebagaimana Rasulullah bersabda; Aku menjadikan penghibur hatiku dalam shalat.

Ketiga, seorang hamba melakukan ibadah dengan tata cara yang telah memenuhi tuntutan syariat, disertai dengan rasa diri terus diawasi atau dilihat oleh Allah. Ini adalah maqom muroqobah.


3. Menuntut Ilmu

Ilmu yang Wajib Dipelajari Setiap Muslim ialah Ilmu agama dan Ilmu umum. Pemahaman ini kemudian lebih dikuatkan dengan adanya pembahagian sekolah yang disebut dengan sekolah umum dan sekolah agama. Sesungguhnya para ulama tidak membahagi ilmu dengan pembahagian yang demikian.

Bila membaca berbagai rujukan akan didapati yang dibezakan oleh para ulama bukanlah jenis ilmunya, tapi hukum mempelajarinya. Dalam kitab Ihya Ulûmid Dîn misalnya Imam Al-Ghazali membedakan ilmu menjadi ilmu yang fardlu ‘ain hukumnya untuk dipelajari dan ilmu yang fardlu kifayah hukumnya untuk dipelajari. Ilmu yang fardlu kifayah hukum mempelajarinya berarti tidak setiap orang Islam wajib mempelajari ilmu tersebut. Bila ada satu di antara mereka yang telah mempelajarinya maka itu sudah cukup menggugurkan orang Islam lain untuk mempelajarinya.

Termasuk dalam kategori ilmu ini adalah ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu kedoktoran, ilmu biologi dan sebagainya. Bila ada satu orang Islam yang mempelajarinya maka gugurlah kewajiban orang Islam lainnya untuk memepelajarinya. Sedangkan ilmu yang hukum mempelajarinya adalah fardlu ‘ain maka ilmu itu wajib dipelajari dan dipahami oleh setiap orang Muslim.

Ada 3 (tiga) ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap orang Muslim dengan kewajiban fardlu ‘ain. Ketiga ilmu itu adalah ilmu yang menjadikan ibadah menjadi sah, ilmu yang mengesahkan aqidah, dan ilmu yang menjadikan hati bersih.

i. Ilmu Fekah

Ilmu yang menjadikan sahnya ibadah kepada Allah adalah ilmu fekah yang membahas tentang bagaimana semestinya seorang Muslim beribadah kepada Allah. Sebagai contoh, setiap Muslim wajib mempelajari ilmu tentang bagaimana caranya shalat yang benar dan baik. Juga ia wajib mempelajari berbagai ilmu yang berkaitan dengan kesahan sholat, seperti caranya berwudlu, cara mensucikan berbagai macam najis, bertayamum, beristinja dan lain sebagainya.

Seorang Muslim juga wajib mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ibadah-ibadah lain seperti puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Termasuk juga dalam kategori ini adalah ilmu muamalat, ilmu yang mengatur bagaimana semestinya seseorang melakukan berbagai macam kegiatan yang berhubungan dengan sesama manusia, seperti jual beli, sewa menyewa, penitipan, dan sebagainya. Ilmu-ilmu ini fardlu ain hukumnya untuk dipelajari mengingat amalan seseorang yang tidak didasari dengan ilmu maka amalan yang dilakukannya itu menjadi batal, tak diterima. Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya tertolak, tak diterima.

ii. Ilmu Agama (Syariat, Aqidah, Tauhid)

Ilmu yang menjadikan aqidah atau kepercayaan seseorang menjadi benar sesuai dengan aqidah yang dianut oleh para ulama Ahlussunah wal Jama’ah. Dengan mempelajari dan memahami ilmu ini maka seseorang akan terjaga dari aqidah-aqidah yang rosak dan tidak benar seperti aqidah Mu’tazilah, Jabariyah, dan Mujassimiyah. Orang yang tidak mempelajari ilmu ini maka dikhawatirkan ia akan salah dalam memahami dan meyakini perihal bagaimana Allah dan berbagai permasalahan keimanan lainnya. Ilmu ini adalah proses pembelajaran di sekolah Agama dan Madrasah yang terdapat di dalam sesebuah negara Islam. Ilmu ini juga boleh dipelajari dengan membaca dari buku-buku agama dan beramal dengannya adalah tidak salah.

iii. Ilmu Tasawuf

Ilmu yang menjadikan hati bersih dari berbagai macam akhlak yang jelek seperti riya, sombong, dengki, hasad dan berbagai macam penyakit hati lainnya. Ilmu ini wajib pula dipelajari oleh setiap orang Muslim mengingat perilaku orang tidak hanya apa yang dilakukan oleh anggota badan secara lahir namun juga perilaku-perilaku hati secara batin.

Tidak ada kelonggaran bagi seorang pun untuk tidak mengetahui ilmu tersebut. Inilah ilmu syariat yang bermanfaat. Tak cukup dengan memepelajari dan mengetahuinya saja. Orang yang telah mempelajarinya juga mesti mengamalkannya. Karena siapapun yang telah mengetahui ilmu ini tidak akan terselamat kecuali dengan mengamalkannya.

4. Berguru

Islam tidak membenarkan individu kurang mahir dalam sesuatu bidang ilmu, apatah lagi ilmu agama memperkatakan sesuatu dengan sewenang-wenangnya mengikut kehendak hatinya. Larangan berbuat demikian bukan bermakna Islam hanya untuk golongan tertentu sahaja.
Dalam Surah al-Nahl, ayat 43, Allah SWT berfirman yang bermaksud: “Dan tidaklah Kami mengutuskan rasul-rasul sebelummu (Wahai Muhammad) melainkan daripada kalangan orang-orang lelaki, yang Kami wahyukan kepada mereka. Oleh itu, bertanyalah kamu (wahai golongan musyrik) kepada orang-orang yang berpengetahuan agama jika kamu tidak mengetahui.”

Satu hadis disampaikan Amru bin al-Ash, beliau mengatakan Rasulullah SAW ada bersabda yang bermaksud: “Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu secara sekali gus daripada hamba-hamba-Nya, tetapi mengangkatnya dengan cara mematikan ulama sehingga tidak ada lagi orang alim, orang ramai mengangkat pemimpin yang jahil (menjadi pemimpin mereka). Pemimpin itu ditanya tentang sesuatu isu, lalu mereka mengeluarkan fatwa tanpa berdasarkan ilmu. Mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain.” (Hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim)

Imam Malik ketika hayatnya pernah mengingatkan: “Tidak semua orang yang ingin mengajar mengenai hadis dan fatwa di masjid boleh berbuat demikian, sebaliknya perlu meminta pandangan daripada orang yang soleh dan orang-orang yang pakar mengenainya terlebih dahulu.

"Jika mereka semua berpendapat yang terbabit itu layak berbuat demikian, bolehlah mengajar di masjid itu. Saya sendiri tidak berani mengajar di masjid melainkan selepas 70 orang guru pakar memperakuinya, barulah saya berbuat demikian.” Lihat bagaimana berhati-hatinya Imam Malik dalam urusan penyampaian ilmu agama.

Walaupun beliau seorang yang diakui ketokohannya dalam ilmu agama, sikap berhati-hati tetap dijunjung tinggi. Beliau tidak melakukan sesuatu dengan sesuka hati tanpa merujuk kepada yang lebih mahir. Sikap Imam Malik itu sewajarnya dicontohi kita semua.

Kisah anggota masyarakat awam yang bercakap atau menulis berkenaan agama tanpa ilmu jelas semakin ketara dan gejala seperti itu wajib ditangani. Inilah salah satu tanda akhir zaman yang amat membimbangkan dan akan menimbulkan fitnah serta perbuatan bid'ah.

Sahabat Rasulullah SAW, Abu Hurairah pernah mengungkapkan, “Demi Tuhan yang mana diriku berada di dalam genggaman-Nya, seseorang hamba yang bercakap suatu kalimah tanpa melihat baik buruknya boleh membinasakan dunia dan juga akhiratnya sekali gus.”

Sehubungan itu, jangan sekat semangat untuk mendalami ilmu yang bermanfaat khususnya ilmu agama.
Cara terbaik adalah ilmu itu dipelajari dengan cara berguru, menadah kitab daripadanya dan berada di dalam masjid bagi mengikuti ilmu itu disampaikan.



No comments:

Post a Comment